"Yang jelas jangan pernah memainkan lampu senter dengan cepat, lampu senter itu dianggap undangan. Jangan berhenti menatap sekitar. Jangan makan keju, kotak tidak apa-apa. Jangan pakai topi sumbrero! Atau baju bodoh! Atau sepatu merah! Atau rok panjang! Jangan pernah! Selamanya jangan! Menari dan berteriak seperti kera!" - Indri, 05:38 WIB.
Ya, tadi pagi gue dapet chat yang isinya cuplikan dialog di film Spongebob. Gue juga nggak tahu si Indri kesurupan apa waktu ngirim chat itu. Mungkin, di pagi hari yang indah tadi, Indri bangun dan bad mood. Lalu ia bergumam, "Hmm.. lagi bad mood gini ngirimin chat horor ke orang lain enak juga kali ya?"
GUE BINGUNG WAKTU PERTAMA BACA CHAT ITU KAMPRET! GUE PIKIR KENA TEROR, EH PAS DIINGET-INGET TERNYATA SPONGEBOB EPISODE KEMPING BERUANG LAUT MELEDAK.
Huft banget.
First of all, lemme tell you the most ngeselin girl in the world:
Indriyati Siti Salamah (Instagram:
@indriocess)
Belakangan ini gue lagi lumayan sering debat sama dia. Ngebahas banyak hal. Tadi pagi (setelah dia ngirim chat cuplikan dialog film Spongebob), gue nanya sama dia tentang gaya pacaran, lebih spesifiknya tentang 'definisi ngabarin pacar' karena kemarin gue baru aja berantem sama pacar gara-gara itu. HEHEHE.
Well, sedikit curhat. Jadi gue berantem sama pacar gara-gara gue nggak ngabarin dia selama tiga hari. Dan dia jadi ngerasa nggak dianggap sama gue. Dia bilang, "Kenapa harus selalu aku yang ngabarin duluan? Seolah-olah jadi enaknya di kamu doang." Ya kalau menurut dia ngabarin itu suatu beban, kenapa harus maksain buat ngabarin. Lagian meskipun gue nggak ngasih kabar, gue tetep inget sama dia. Gue nggak lupa kalau gue punya pacar. Cuma ya, gue ngerasa nggak perlu aja ngasih kabar kalau emang nggak ada yang penting.
Maksudnya, ngapain ngasih kabar kalau cuma "Aku lagi main nih, kamu lagi apa? Udah makan? Udah mandi? Udah minum obat cacingnya?" sebuah pertanyaan yang jawabannya juga masih gitu-gitu aja. Gini lho, kalau ada sesuatu, gue juga pasti ngasih tahu. Misalkan kalau gue sakit, kecelakaan, atau apalah gitu. Kalau nggak ada apa-apa, ya apa yang harus dikabarin? Gue juga bukan tipe orang yang ngerasa bahwa pertanyaan "udah makan belum?" itu harus ditanyain setiap hari. Ya semua orang waras juga tahu kalau laper itu harus makan. Nggak usah lah nungguin ditanya sama pacar baru makan. Mana ada orang yang laper banget, tapi bingung harus ngapain, dan baru inget harus makan ketika diingetin? Kebayang aja gitu.
"Aduh.. perut sakit banget nih. Kayaknya aku laper. Tapi harus ngapain, ya Allah?"
KAN ENGGAK GITU.
Jadi, menurut gue, selalu nanya "udah makan belum?" itu nggak bisa dijadiin patokan sebagai bukti kasih sayang.
Balik lagi ke masalah ngabarin. Gue bingung. Ngabarin yang menunjukan bukti sayang itu kayak gimana sih. Ngabarin yang bikin seseorang dianggap sama pacarnya itu kayak gimana? Apakah setiap beberapa jam sekali kita laporan lagi ngapain, di mana, sama siapa, itu contoh ngabarin yang bikin seseorang merasa dianggap sebagai sosok pacar? Apakah ngabarin itu sebegitu pentingnya sampe bikin seseorang pengin selalu dapet kabar dari pacarnya?
Gue ganti DP di BBM. Gue update status di BBM. Tanpa gue ngasih kabar pun, semua orang udah tahu kalau gue masih sempet ganti DP dan update status, berarti gue masih hidup. Dan kalau gue ganti DP sama update status yang normal-normal aja, berarti gue juga baik-baik aja.
Gue butuh seseorang yang tanpa gue kabarin seharian pun, bisa percaya kalau gue nggak lakuin yang aneh-aneh. Bisa ngerti kalau gue baik-baik aja. Gue bukan anak SMP yang gaya pacarannya harus chatting setiap hari, tapi isi obrolannya nggak terlalu penting untuk dibahas. Lagian kalaupun dia ngabarin duluan, misal mau curhat atau apalah gitu, gue tetep respons. Gue nggak merasa terganggu. Gue cuma bingung aja kalau mau ngabarin duluan ketika gue nggak punya kabar penting yang harus dikabarin.
Dia sempet bilang, "Kamu jadi keenakan, nggak ngabarin selama tiga hari. Kayaknya sebelum aku sakit, kamu nggak akan nyariin aku."
Hey, please grow up. Berpikir dewasa. Kalau dia sakit, apa perlu nunggu gue nanyain kabarnya baru dia bilang bahwa dia lagi sakit? Apa perlu gue nanya duluan baru dia bilang? Apa nggak bisa dia inisiatif bilang bahwa dia lagi sakit tanpa perlu gue nanya dulu? Jadi, sebenernya gue yang keenakan atau dia yang ribet?
Waktu gue ditabrak motor bulan kemarin, gue ngabarin dia tanpa nunggu dia nanya dulu. Gue juga maunya dia kayak gitu. Ngasih kabar ketika memang ada yang perlu dikabarin, nggak usah ngasih kabar kalau memang nggak ada kabar penting.
Satu hal lagi, gue ngerasa nggak perlu nyari tahu kabar dia, karena ketika dia ada sesuatu yang memang perlu gue tahu, dia bakal ngasih tahu tanpa gue nanya dulu. Toh gue juga kayak gitu. Dia nggak perlu nyari tahu kabar gue, karena ketika ada sesuatu yang penting dari gue (dan gue rasa dia harus tahu), gue akan kasih tahu dia meskipun dia nggak nanya.
Sekarang pertanyaannya: kalau gue nggak ada kabar penting apapun, apa yang harus gue kabarin? Harga rokok nggak jadi naik karena itu cuma gossip? Ya kali.
Waktu gue nanya Indri, dia jawab gini:
Thats what I mean, bruh!
Tapi ya udah lah ya, terlepas dari gue yang terlalu egois atau dia yang terlalu ribet (bagi gue), mungkin semua ini cuma masalah perspective.
Cara gue nggak cocok sama dia, dan cara dia juga nggak cocok sama gue. Jadinya berantakan. Tapi dia nggak salah kok. Ya emang udah dasarnya beda paham sama gue aja.
Bukankah semua orang punya sudut pandangnya masing-masing, bu guru?
***
Anyway, guys, some update. Gue udah ketemu sama Tsaqif. Waktu gue ke pesantren dia, sekitar jam sembilan malem, Tsaqif lagi duduk di teras rumah orang, nunduk, kucel, dan nggak pake sandal. Gue hampir sulit mengenali identitas anak ini untuk beberapa saat. Tadinya gue pikir dia ini anak hilang yang ditemukan warga pesantren. Ya, maafkan.
"Kenapa nggak pake sandal?" tanya gue.
"Sering ilang. Sandal yang kemarin-kemarin juga ilang."
"Kok bisa ilang?"
"Soalnya diambil kakak kelas."
"LAH ITU MAH BUKAN ILANG!"
Tsaqif malah cengengesan.
"Terus kamu nggak bilang ke kakak kelas kamu, kalau itu sandal punya kamu?" tanya gue lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.
"Udah nyoba. Tapi kakak kelasnya bilang itu sandal dapet nemu."
BIJI MATAMU NEMU.
"Tapi kemarin udah dimarahin sama ibu, kakak kelasnya langsung nurut. Sekarang sandalnya udah ada di Tsaqif, tapi cuma dipake kalau mau ke rumah Aki." kata Tsaqif melanjutkan, "Kalau masih di daerah pesantren mending nggak dipake. Nanti ilang lagi ah. Hehehe."
"Terus selain sandal, apa lagi yang sering ilang?"
"Baju."
"Baju?"
"Iya, baju."
"Kok bisa?"
Tsaqif narik napas panjang sebelum menjelaskan, "Jadi gini, kan jemuran itu digantung di luar, terus kakak kelas suka ngambilin jemuran. Nah pas Tsaqif tagih, kakak kelasnya bilang itu baju dapet nemu. Jadi itu milik kakak kelas."
"Kok nggak kamu ambil?"
"Bisa diambil. Tapi harus nebus."
"Nebus?"
"Iya, nebus."
"Berapa?"
"Dua ribu per baju."
What the fak.
Sebagai kakak, gue merekomendasikan hal yang seharusnya dia lakukan, "Kalau gitu, kamu ambilin aja semua jemuran yang ada. Satu baju dibayar dua ribu, lima baju udah sepuluh ribu. Coba kalau sehari kamu bisa ambil 100 baju? Bayangkan, berapa gelas cendol yang bisa kamu borong dengan uang sebanyak itu?"
Nggak lah. Bercanda.
Gue bilang, "Kalau ada kakak kelas yang kayak gitu lagi, pukul aja kepalanya. Pake tangan kosong tapi."
Lagi-lagi, Tsaqif malah cengengesan.
"LAH MALAH KETAWA! INI SERIUS BUKAN BERCANDA!"
"Ya abisnya gimana lagi dong.."
"Ya makanya, kalau ada yang kayak gitu lagi, pukul aja."
Gue jadi heran. Itu pesantren yang ngedidiknya siapa ya. Kok bisa-bisanya ada tragedi pencurian sandal dan baju. Apalagi yang nyurinya itu kakak kelas. Sangat tidak mencerminkan sikap senioritas. Masalahnya, gue jadi takut kalau nanti adik gue udah tingkat atas, dia juga bakal nyuri barang-barang milik adik kelasnya. Bukan mencontoh, tapi lebih ke 'pelampiasan' sebagai pembalasan. Parah men.
Tsaqif, si manusia siluman tanah.
Gue nyuruh Tsaqif buat pukul kakak kelasnya, karena guru pesantrennya sendiri nggak bisa diandelin. Kalau yang mendidiknya nggak bisa jadi penjaga, pada siapa lagi adik gue mau minta pembelaan dan pertolongan? Diri sendiri. Gue nyuruh Tsaqif buat mukul kakak kelasnya juga bukan supaya dia jadi preman. Tapi supaya kakak kelasnya ngerti, bahwa mencuri itu salah. Kalau udah nggak bisa dijelasin secara omongan, ya mungkin emang harus nyoba dikasih pukulan.
Pesan moral dari pertemuan dengan Tsaqif malam itu:
Kalau kamu nggak jago berantem, minimal jago jagain jemuran.
***
PS:
Ada video baru di YouTube Channel gue, "Where Are U Now - Justin Bieber ft Jack U (Skrillex & Diplo)" inspired by the original music video!
Ini link-nya:
https://youtu.be/D6AnGvvmUhwHave you subscribe my channel?